Selasa 11 Januari 2005
Wawancara Radio 68H dengan Santoso, relawan yang sedang membuat sumur untuk penyediaan air bersih di Banda Aceh.
Penyiar :
Bagaimana kerja tim relawan di lapangan, pasca ditunjuknya militer oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengkoordinasikan kerja seluruh relawan di Aceh ?
Santoso :
Saya mulai dari pengalaman kita sendiri dan sebagai pertanggung jawaban kita kepada pendengar 68H yang juga turut mengumpulkan dana buat Aceh. Bantuan itu kita gunakan untuk membangun sumur-sumur guna menyediakan air bersih kepada pengungsi dan kebutuhan lain di Aceh. Kita mulai menurunkan tukang itu hari Minggu (9 Januari 2005), dan yang pertama ialah masjid Baiturahman di pusat kota Banda Aceh. Kita lihat sangat kurang air untuk wudhu dan antriannya cukup panjang, karena itu kita memprioritaskan untuk membuat sumur di sana. Kita juga telah mendapat izin dari pihak pengurus masjid. Ketika kita baru mau menggali, ada beberapa tentara dengan senjatanya mencurigai kegiatan kita. Mereka mengatakan, kegiatan seperti ini harus dilaporkan. Saya bilang kenapa harus melalui prosedur yang rumit, lagipula air ini sangat dibutuhkan. Mereka bersikukuh bahwa tiap kegiatan dikendalikan oleh Bambang Dharmono. Kita sepakat akan melapor, asal delapan tukang penggali bisa dibairkan kerja. Sekarang airnya sudah keluar, jernih, dan digunakan oleh masyarakat di sana.
Penyiar :
Apa prosedur yang ditetapkan oleh TNI bagi para relawan ?
Santoso :
Saya belum tahu jelas, dan harusnya tanya ke Bambang Dharmono sendiri, tapi yang pasti tidak enaklah yang kami alami. Maunya kami mereka dapat membantu, biar cepat selesai penggalian sumurnya karena 68H berencana menggali 20 sumur tapi sekarang baru 2 yang berhasil tergali. Karena itu konsentrasi kami juga terpecah apakah kita bangun sumur atau membangun kembali radio, seperti radio Muhammadiyah yang telah mulai mengudara sejak Jumat 7 Januari 2005 lalu, itu juga kita bantu prosesnya.
Penyiar :
Apakah pembangunan radio juga mendapat terguran serupa dari aparat TNI setempat ?
Santoso :
Saya kira tidak ya, karena radio Muhammadiyah juga terkait dengan Dien Syamsudin, bahkan beliau dua kali menyampaikan himbauan untuk menenangkan masyarakat Aceh. Tapi yang pasti radio ini harus diproses dengan hukum yang ada karena ini radio komunitas.
Penyiar :
Dengan birokrasi yang ditetapkan TNI, bagaimana dampaknya terhadap kerja yang dilakukan tim relawan ?
Santoso :
Banyak keluhan tentu, diantaranya dari teman-teman tim relawan Australia dan Malaysia. Kalau tadinya mereka cukup cepat langsung dapat memberikan bantuan kepada warga, sekarang para relawan mengeluh karena harus lapor dulu kepada TNI. Padahal ini sifatnya sangat darurat.
Penyiar :
Dari pengakuan para relawan, pada saat mereka mengikuti birokrasi ini, apa yang mereka alami ?
Santoso:
Saya belum mendengar langsung, tapi yang pasti banyak keluhan soal prosedur yang makin panjang. Artinya kalau dulu Malaysia dan Austalia misalnya kalau bawa makanan bisa langsugn masuk ke kamp. Tapi sekarang harus melapor dulu ke Bambang Dharmono, ini akan semakin sulit dan prosesnya panjang. Selain itu transportasi di Aceh sangat sulit, juga sangat mahal dan susah. Itu yang dialami para relawan, tadinya mereka mau menolong sekarang jadi malah terhambat. Bahkan sekarang banyak bantuan ke Meulaboh dan daerah pedalaman lainnya menjadi terhambat karena prosesnya yang makin panjang dan sulit.