Kebijakan pemerintah membatasi ruang gerak dan waktu para relawan asing, baik sipil maupun militer, di bumi Rencong, ternyata menuai badai kritik. Kebijakan tersebut memicu kontroversi antara nasionalisme dan kemanusiaan.
Menurut Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab, batas waktu 26 Maret itu hanya untuk relawan militer asing. Sedangkan untuk relawan sipil hanya diatur keberadaan mereka di Aceh.
(…kita tidak membatasi relawan. Silakan seribu dua ribu kalau dia sipil silakan. Kita tidak bilang tidak boleh. Yang ada di Banda Aceh tidak semua militer. Di sini relawan yang membawa bantuan itu bukan relawan militer. Yang militer itu yang menggunakan pesawat-pesawat helikopter. Jadi kita bisa pakai sipil. Jadi jangan dianggap dengan ini bantuan itu langsung diputus, itu tidak betul. Saya rasa bapak tahu persis, bahwa ini maksudnya militer bukan sipil. Kalau ada bantuan sipil silakan. Mau dua ribu, mau tiga ribu, mau lima ratus ribu....)
Pada awalnya, pemerintah Indonesia memang membutuhkan tenaga militer asing untuk mendukung operasi kemanusiaan TNI di Aceh.
(…Militer itu digunakan pada masa awal karena mereka itu untuk tanggap darurat, kalau kita perlu action yang cepat itu militer pak. Kalau sipil kan lelet...)
Namun untuk tindak lanjut operasi kemanusiaan di Aceh, pemerintah bersikap militer asing tidak diperlukan lagi.
(…Hanya ini dignity, harga diri bangsa pak. Jangan sampai orang bilang, waduh ini Indonesia kok tiga bulan ya ? lebih dari tiga bulan, ya ? ini militer asing pilot-pilot asing berada di Aceh seenaknya mau ke sana bisa, mau ke mari bisa ? mana ini harga diri bangsa? ini bangsa sudah sepertinya dijajah ? Amerika sudah bisa masuk kesana kemari. Itu suara-suara juga harus dihormati pak. Jadi ini juga mencambuk kita agar sebelum tanggal 26 Maret, militer asing kita bilang terimakasih. sipilnya aja deh kasih kita, dokter2 sipil.....)
Alasan yang dilontarkan Alwi itu boleh jadi pemicu lain kontroversi antara nasionalisme dan kemanusiaan di Aceh. Saat Namlapanha Jakarta membuka dialog interaktif dengan pendengar, seorang pendengar dari Jakarta, Ida langsung menunjukkan ketidaksepakatan ia atas alasan pemerintah itu.
(…kita harus menunjukkan bahu-membahu dengan internasional untuk kemanusiaan di Aceh, itu yang sekarang kita harus pupuk, bekerja bersama, bukan membanding-bandingkan antara kemanusiaan dengan nasionalisme, jangan kita bilang ini ada tujuannya, toh sebelum datang, kita yang minta tolong, karena kita tahu kita nggak sanggup, kita nggak bisa lagi untuk tackle, jadi sekarang mereka sudah datang dengan begitu besar, dengan bantuan yang begitu besar, kita harus bahu-membahulah jangan membawa nasionalisme…)
Sementara pendengar lain dari Bekasi Jawa Barat, Rahman berpendapat tidak perlu ada pembatasan, tapi memang perlu pengaturan.
(…ini kita hidup di dunia global, globalisasi sudah menjadi trend, sudah menjadi isu utama dunia, perdagangan saja batas negara sudah tidak dibahas, apalagi masalah kemanusiaan, jadi masalah kemanusiaan itu perlu kita utamakan, karena itu bersifat universal, sehingga membantu kemanusiaan itu tidak perlu dibatasi oleh batas negara, cuma kita mengaturnya secara professional, sebagai negara berdaulat, ada aturan mainnya…)
Sedangkan Fuad dari Jakarta punya pandangan lain berdasarkan pengamatan ia saat berada di Nanggroe Aceh Darussalam.
(… kita jangan berpikir negatif tentang tentara-tentara asing begitu, saya melihat mereka itulah punya andil nomor dua setelah TNI kita, kemudian sukarelawan-sukarelawan pertama yang dikirim ke sana itu, saya sangat kecewa sekali, mereka hanya berdarmawisata, membagi-bagikan makanan, tapi tak ada yang membantu TNI yang mengangkat mayat, mengapa tentara-tentara asing dengan alasan mata-mata, kita lihat kerja mereka yang mengangkat mayat, Meulaboh, kita lihat informasinya adalah dari tentara asing, menyatakan belum ada bantuan di sana…)
Ada dugaan dan ada pula tudingan terlontar melalui radio ini. Mereka bilang pemerintah, terutama militer kita, cenderung minder melihat kerja pihak internasional, terutama militer asing.
(… mereka tersinggung dengan kedatangan orang-orang professional, mereka tidak menjadi tidak… semacam kayak ada harga dirinya tuh tidak ada lagi, nah trus sekarang ini, ada juga dibalik ini, kalau orang-orang itu pergi, maka dia menjadi raja di sini…../ … di balik ini semua, ada kecurigaan yang besar yang mendekati paranoid, jadi ini bukan masalah nasionalisme, tetapi tanpa sadar ini sesungguhnya adalah komplex rendah diri, yang ujungnya memang pada orang-orang yang inferiority complex itu cenderung untuk curiga pada segala sesuatu yang dari luar, ya jadi pertimbangannya sangat sangat tidak rasional menurut saya…../ …. Ya kami jauh dari Papua, dan Aceh itu paling barat, kasihan kita punya saudara-saudara di Aceh, sudah menderita mereka, sudah habis-habisan, dahulukanlah upaya-upaya kemanusiaan, kalau memang kita nggak mau pasukan asing, relawan asing, ya kenapa mau diterima? Dari awal-awal kita nyatakan bahwa kita mampu, mengapa sudah begini, lalu kita bikin segala macam pengaturan, segala macam lainnya, itu kan nggak fair…)
Sebenarnya tak ada yang salah dengan kedua paham itu. Tidak semua orang yang nasionalis, menampik kemanusiaan, dan tidak semua orang pendamba kemanusiaan, juga memegang nasionalisme. Setidaknya demikian pendapat Nani, salah seorang pendengar radio ini.
(….kalau saya sebagai anak bangsa, terus terang saya sangat awam dalam segala hal ya, hanya saya berpikir, antara harga diri dan nyawa itu seimbang, kita nggak bisa karena untuk nyawa, , harga diri juga dilupakan…)
Sebenarnya bukan kontroversi, tapi bagaimana dan dari sudut mana kita melihat penanggulangan bencana di ujung Sumatera itu. Untuk kasus Aceh, yang sejak dulu bergolak dengan kasus separatisme, Ramli punya resep jitu untuk pemerintah.
(…negara Indonesia ini ada kan karena adanya rasa nasionalis manusia yang sangat tinggi, atau warga negara yang sangat tinggi, sekarang manusia yang melahirkan nasionalisme itu lagi musibah pak, jadi untuk memulihkan kesengsaraan rakyat yang sedang musibah, dilanda musibah yang sangat parah ini, sangat perlu kita bantu mereka itu dengan segala daya upaya kita, dari pihak kita yang tidak musibah, ataupun pemerintah dalam hal ini agar nasionalis, nasionalis, nasionalisme itu tumbuh kembali…)
Kini pemerintah tetap pada sikap memberi batas waktu 26 Maret untuk relawan militer asing. Sedangkan untuk gerak relawan sipil pun dibatasi. Untuk itu, tio, seorang pendengar radio ini dari Medan, Sumatera Utara menantang.
(… kalau memang pemerintah itu mengurangi ataulah membatasi, bantuan-bantuan dari luar negeri, tenaga-tenaga bantuan dari luar negeri, saya pengen melihat pemerintah, melakukan action yang sangat-sangat tepat…)
Dirangkum Yancen Piris Namlapanha Jakarta