Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Friday, January 14, 2005

Pemerintah Diminta Tidak Lupakan Gempa Nabire

(KBR 68H - 14 Januari 2005) - Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire Provinsi Papua mengharapkan, pemerintah pusat tidak melupakan nasib daerah di luar Aceh, yang juga dilanda gempa bumi. Wakil Bupati Nabire, Tony Karubaba mengatakan, Nabire saat ini juga masih membutuhkan perhatian dari pusat, untuk membangun kembali daerah itu, pasca bencana gempa yang terjadi 26 November 2004.

"Bukan berarti kami merasa jadi anak tiri. Kami juga merasa prihatin, karena korban jiwa dan kerugian di Aceh lebih besar dari kami. Kami lihat, konsentrasi pemerintah, juga bantuan dari luar negeri ke Aceh. Kami sesalkan, bantuan barang menumpuk di luar Aceh. Kalau bisa, bantuan barang, makanan dan obat-obatan didorong ke Nabire. Kami mohon, kalau bisa, selain pemerintah memperhatikan Aceh, jangan lupakan kami. Karena Nabire juga bagian integral dari Indonesia," ujar Wakil Bupati Nabire, Tony Karubaba.

Tony Karubaba yang juga Ketua Harian Satkorlak Gempa Nabire mengatakan, untuk merehabilitasi atau membangun kembali Nabire pasca gempa, dibutuhkan sedikitnya dana hampir 600 milyar rupiah. Saat ini pemerintah kabupaten Nabire tengah memprioritaskan pembangunan 130-an tempat ibadah, dan 900-an ruang kelas darurat, agar kegiatan belajar mengajar tidak ketinggalan.

Gempa di Nabire, 26 November lalu menyebabkan 27 orang meninggal dunia, ratusan orang luka-luka dan ratusan rumah dan bangunan pemerintah rusak parah.

Kak Seto: "Memang Benar, Ada Penculikan Anak di Aceh"

(KBR 68H - 14 Januari 2005) - Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi seusai kunjungannya ke Aceh membenarkan telah terjadi penculikan terhadap anak-anak korban gempa dan gelombang tsunami. Informasi ini dia dapat dari para saksi baik para pengungsi maupun aktivis-aktivis LSM yang berada di Aceh.

Menurut Seto Mulyadi penculikan ini bisa terjadi mengingat suasana yang kacau dimana keluaraga terceri berai dan juga pendataan anak yang relatif belum dimiliki di tiap-tiap kamp pengungsi. Seto memberi contoh peristiwa di Calang dimana beberapa anak dibawa dengan helikopter tanpa didampingi oleh orang tuanya.

Seto menambahkan helikopter yang mengangkut anak-anak itu berbendera negara asing. Untuk itu komnas anak sudah melakukan pengecekan ke berbagai sumber untuk mendapat klarifikasi soal kasus ini.

Seto menambahkan hampir semua wilayah rawan penculikan. Pernyataan pemerintah yang melarang membawa anak-anak keluar dari Aceh menurut Seto Mulyadi sudah benar, tapi yang harus ditingkatkan adalah pengawasan di berbagai tempat baik di rumah sakit, pelabuhan dan bandara di Banda Aceh maupun Medan.

Menkeu: "Moratorium Utang, Pasti Ubah Struktur APBN 2005"

(KBR 68H - 14 Januari 2005) - Menteri Keuangan Yusuf Anwar mengatakan adanya moratorium utang atau penundaan pembayaran utang luar negeri Indonesia dipastikan akan mengubah struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN 2005. Hal ini disebabkan penurunan jumlah pos pengeluaran pembayaran cicilan dan bunga utang. Sementara pos penerimaa hibah dalam anggaran akan meningkat sebesar 1,5 miliar dolar amerika.

Menurut Menteri Keuangan, pos pengeluaran akan meningkat karena kebutuhan dana di tiap Departemen meningkat sebagai biaya rehabilitasi Nanggroe Aceh Darusalam dan sebagian wilayah Sumatra Utara pasca bencana Tsunami.

Yusuf Anwar menjelaskan, Sidang Paris Club sebelumnya memutuskan membebaskan pembayaran pokok utang dan bunga untuk sementara sampai penilaian kerugian akibat tsunami oleh Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional IMF selesai dilakukan. Menurut Menkeu masa penilaian bisa selesai dalam 3 bulan, setahun atau dua tahun.

Berdasarkan hitungan Menteri Keuangan, jika penilaian memakan waktu 3 bulan, Indonesia punya potensi untuk membayar utang sebesar 350 juta dolar. Hal ini dikarenakan utang Indonesia yang jatuh tempo pada periode Januari-Maret mencapai 350 juta dolar. Sementara untuk Periode Januari-April pemerintah harus membayar utang sebesar 400 juta dolar dan pada periode Januari-Juni 1,2 miliar dolar.

Perumnas: "23 Ribu Rumah Gratis untuk Aceh"

(KBR 68H - 14 Januari 2005) - Direktur Utama Perum Perumnas Heri Slawat menegaskan perumnas tetap akan melanjutkan pembangun rumah-rumah di lahan yang sebelumnya sudah dimiliki perumnas dan sudah sempat dibangun kawasan perumahan sebelum terjadinya bencana gempa dan gelombang tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam.

Heri menambahkan untuk menjawab program pemerintah membangun 23 ribu unit rumah secara gratis, perumnas siap membangun 23 unit rumah dengan standar rumah sederhana type 36. Selain itu Perumnas juga akan membangun rumah tahan gempa seperti yang dibangun di Maumere.

Hingga saat ini sudah sekitar 5.000 rumah siap disumbangkan untuk korban gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Nias. Sumbangan tersebut berasal dari berbagai donatur yang kemudian akan disalurkan melalui Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB).

Sumbangan itu di antaranya berasal dari Real Estate Indonesia (REI) dan dari Komite Kemanusiaan Indonesia. Selain itu, Bank Tabungan Negara juga akan memberikan sumbangan sebesar Rp1 miliar untuk biaya pembangunan rumah di lokasi bencana.

Menkeu Khawatir, Bantuan Asing Habis untuk Pengeluaran Subsidi BBM

(KBR 68H - 14 Januari 2005) - Menteri Keuangan Jusuf Anwar mengakui, pemerintah Indonesia akan menggunakan tawaran pinjaman murah dari berbagai negara seperti Perancis, Italia dan Spanyol untuk membayar jumlah utang yang lebih mahal. Hal ini dikatakan setelah beberapa tawaran pemberian pinjaman datang dari Perancis, Italia dan Spanyol. Menurut Menkeu, saat ini pemerintah sedang menghitung-hitung kembali naik tidaknya harga Bahan Bakar Minyak jika APBN mendapatkan tambahan hibah, dan pemerintah memperoleh kesempatan untuk menunda pembayaran utang.

Menteri Keuangan sendiri mengaku khawatir bantuan dari luar negeri habis dipakai untuk pengeluaran subsidi BBM, jika harga BBM tidak dinaikkan. Menkeu menambahkan, dalam waktu dekat Indonesia akan memperoleh hibah dari negara Australia sebesar 500 juta dolar Australia. Hingga saat ini jumlah hibah yang berhasil dihitung mencapai 1,5 miliar dolar amerika.

Diluar hal itu, pemerintah Indonesia menyatakan penghargaannya atas tiap usaha untuk menolong Indonesia baik secara bilateral maupun multilateral melalui Paris Club. Pemerintah Indonesia saat ini akan menunggu hasil penilaian dari Bank Dunia dan IMF mengenai nilai kerusakan pasca bencana tsunami di Aceh dan sebagian wilayah Sumatra Utara. Selanjutnya setelah penilaian selesai dan Indonesia harus mengajukan secara resmi, maka pemerintah akan melihat terlebih dahulu apa saja syaratnya. Hal ini dinilai penting karena Indonesia tidak mau kembali masuk dalam program IMF.

GAM Belum Sikapi Tawaran Gencatan Senjata

(KBR 68H - 14 Januari 2005) - Gerakan Aceh Merdeka belum memiliki rincian konkrit soal tawaran gencatan senjata yang sudah diajukannya. Panglima GAM Sofyan Dawod mengatakan, tawaran yang ada baru pada tahap awal, yaitu mengajukan gencatan senjata kepada pemerintah Indonesia. Sebelumnya, GAM telah melakukan gencatan senjata sepihak pasca bencana tsunami. Menurut Dawod, tawaran gencatan senjata dengan Indonesia nantinya harus berisi poin-poin yang disetujui pihak GAM dan Indonesia.

Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, Indonesia tengah mengupayakan gencatan senjata dengan GAM. Indonesia menginginkan tawaran yang lebih permanen, yaitu perdamaian abadi. Menurut Kalla, penyelesaian di Aceh harus bersifat jangka panjang, di mana tidak ada lagi permusuhan antara GAM dengan Pemerintah Indonesia di Aceh, sehingga bisa bersama-sama membangun Aceh kembali.

Polisi Buru Penyebar Teror Bom di Kedubes Inggris

(KBR 68H - 14 Januari 2005) - Kepolisian Indonesia tengah mengejar sumber penyebar pesan pendek melalui selular atau sms yang berisi ancaman bom di Kantor Kedutaan Besar Inggris dan Thailand di Jakarta.

Menurut Kepala Kepolisian Indonesia Da’I Bachtiar, pesan pendek itu diterima salah seorang intelijen Markas Besar Kepolisian Indonesia kemarin malam. Karena itu Kapolri memerintahkan anggotanya untuk meningkatkan keamanan di sejumlah kantor kedutaan besar dan fasilitas asing lainnya di Indonesia. Da’I khawatir pesan pendek itu hanya untuk mengalihkan kewaspadaan sistem keamanan yang dilakukan oleh Polri. Karena itu peningkatan kewaspadaan keamanan juga diberlakukan untuk fasilitas umum lainnya.

Da’I menambahkan fokus pengejaran tetap diarahkan kepada dua otak pelaku peledakan bom di Indonesia Dr. Azahari dan Noordin M. Top.

Akibat ancaman bom itu, Kedutaan Besar Inggris di Jakarta menutup sementara kantornya. Kedutaan besar asing dan hotel-hotel internasional di Jakarta berada dalam kewaspadaan tinggi setelah dikabarkan menjadi target serangan teror. Peringatan juga telah diberikan kepada hotel bintang lima yang berada persis di seberang kantor kedutaan besar Inggris.

Ditindak, Oknum Aparat Yang Terlibat Pungli Bantuan Aceh

(KBR 68H - 14 Januari 2005) - Kepolisian Indonesia berjanji akan menindak tegas anggotanya yang menarik pungutan kepada penyalur bantuan bagi Aceh. Kepala Kepolisian Indonesia Da’I Bachtiar mengaku telah menurunkan provost untuk mengawasi kinerja aparat kepolisian di lapangan. Menurut Da’I, meski telah menurunkan provost, kemungkinan pungutan liar bisa saja terjadi terutama saat mengirimkan bantuan ke daerah-daerah pedalaman.

Da’I menambahkan, ia juga telah mengirimkan 300 personil tambahan untuk mengevakuasi jenasah yang masih tersisa. Langkah ini terkait dengan perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar proses evakuasi jenasah sudah tuntas pekan ini.

Tajuk 68H: "Momentum Rekonsiliasi"

Tajuk 68H - 14 Januari 2005

Waktu itu, sekitar 25 relawan dari Muhammadiyah itu tengah bersiap untuk kembali ke pangkalan mereka, usai membagi-bagikan makanan kepada pengungsi di desa Kreung Raya, dekat pelabuhan Malhayati, banda Aceh. Tiba-tiba muncul segerombolan orang di tempat yang tinggi, dan menembakan peluru ke arah mereka. Gerombolan penembak cepat menghilang. Kepanikan pun melanda. Untunglah, tak ada yang terluka. Tak ada tembakan yang mengenai para relawan atau sejumlah pasukan Brigade Mobil (Brimob), yang mengawal para relawan itu.

Inilah insiden penembakan pertama yang menyasar para relawan, sejak gelombang relawan, termasuk tentara dan pasukan keamanan sipil asing dari seluruh dunia memasuki Aceh, dalam suatu operasi kemanusiaan raksasa. Salah satu yang terbesar dalam sejarah. Sebelum insiden penembakan itu, memang dilaporkan terjadinya sejumlah insiden. Seperti pencegatan terhadap sejumlah tim relawan oleh orang-orang tak dikenal. Lalu penyekapan terhadap pegawai lokal. Bahkan ada pemukulan terhadap relawan. Dan beberapa insiden lain.

Tetapi, seluruh keajdian itu dipandang sebagai riak-riak kecil saja. Karena situasi umum di Aceh menggambarkan konsentrasi tinggi dari berbagai pihak, untuk hanya bekerja untuk urusan kemanusiaan. Mengangkut puluhan ribu mayat yang bergelimpangan dan membusuk, lalu menguburkannya secara layak. Memindahkan para korban selamat ke tempat-tempat pengungsian. Membangun fasilitas-fasilitas umum seperti sanitasi dan rumah-rumah sementara. Membagikan makanan, minuman dan obat-obatan. Pokoknya, berbagai pihak bahu membahu dalam kegiatan penyelamatan dan bantuan darurat.

Bencana tsunami itu memang begitu hebat: menewaskan lebih dari 100 ribu jiwa di Aceh dan Sumatra, menghancurkan ratusan ribu rumah dan menyengsarakan jutaan orang. Kehancuran, kehilangan, dan penderitaan yang begitu dahsyat tak terperi itu telah menyatukan semua umat manusia, di seluruh dunia, di seluruh Indonesia, tentu di seluruh Aceh, dengan mengenyahkan segala perbedaan, dan mengubur permusuhan.

Masyarakat internasional dari berbagai agama tanpa kecuali: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, juga Yahudi, bahkan kalangan tak bertuhan sekalipun, terpanggil untuk mengulurkan tangan, memberikan berbagai bantuan. Mulai dana, makanan, obat-obatan, pakaian, peralatan, serta tenaga relawan ahli. Di kalangan kita sendiri, serta di kalangan masyarakat Aceh, permusuhan dan perbedaan politik seperti turut musnah disapu gelombang. Tak ada lagi urusan pro Indonesia atau pro Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Karena semuanya telah disatukan dalam penderitaan. Tak ada lagi permusuhan. Karena semuanya sama kehilangan, semuanya sama menderita. Bukan oleh apa yang mereka anggap musuh selama ini. Melainkan oleh musuh baru yang mendadak muncul: gelombang tsunami 26 Desember.

Kenyataan baru ini membuktikan pada kita, bahwa perdamaian di Aceh, sebagaimana perdamaian di sleuruh dunia, adalah mungkin, dann tidak musykil. Permusuhan dan ketegangan sebetulnya bisa diatasi. Orang-orang bisa bekerja sama, dan hidup berdampingan, bahkan bahu membahu secara normal. Perbedaan politik, juga di kalangan masyarakat Indonesia di luar Aceh, sebetulnya bisa tidak penting, bisa disingkirkan. Pendek kata, kita sebetulnya bisa hidup normal sebagaimana layaknya umat manusia: tanpa permusuhan, tanpa kebencian, tanpa dendam.

Maka momentum persatuan dalam kemanusiaan ini harus dipegang oleh kita semua, dan sama sekali tidak boleh kita lepaskan. Inilah momentum rekonsiliasi bagi rakyat Aceh yang selama ini terpecah belah antara yang pro GAM dan pro RI. Inilah momentum terbaik bagi kita untuk menyingkirkan senjata, dan membiasakan lagi penyelesaian perbedaan melalui jalon dialog. Baik GAM maupun TNI, pemerintah, dan pimpinan GAM harus memenuhi panggilan perdamaian ini. Mereka harus menggunakan momentum ini untuk menyiapkan lagi pembicaraan perdamaian yang menyeluruh dan penyelesaian konflik Aceh yang berkepanjangan itu.

Kita tahu, bahwa akan selalu ada sejumlah kecil orang yang melihat perdamaian sebagai ancaman, yang ingin terus memelihara ketegangan dan merawat permusuhan. Sebagaimana orang-orang yang melepaskan tembakan terhadap para relawan di Kreung Raya kemarin. Tetapi kita tak boleh menjadikan aksi para pengecut itu sebagai alasan untuk tidak bekerja demi perdamaian menyeluruh.

Inilah momentum untuk rekonsiliasi sejati di Aceh. Kalau kita melepaskannya, kita telah nmengkhianati rakyat Aceh, dan mengkhianati penderitaan mereka. (c)2005

Depsos Gandeng Seribu Panti Asuhan untuk Anak-anak Aceh

(KBR 68H - 14 Januari 2005) - Untuk melindungi anak-anak korban gempa dan tusnami di Nanggoroe Aceh Darussalam, Depertemen Sosial Depsos membuat Program Rumah Perlindungan Sosial Anak, RPSA.

Petugas Depsos Afinaldi mengatakan pihaknya sudah menginformasikan kepada seluruh masyarakat yang sempat mengasuh anak-anak korban gempa untuk menyerahkan kepada RPSA. Setelah itu Depsos akan mencarikan keluarga asli dari anak-anak itu, termasuk orang tua atau kerabat yang sedarah. Sambil mencari kerabatnya, RPSA juga berusaha mengembalikan kondisi psikis dari anak-anak itu. Afinaldi menambahkan anak-anak itu akan terus ditampung hingga menemukan anggota keluarganya

Menurut Afinaldi, RPSA terus bekerjasama dengan sekitar 1000 panti asuhan di Sumatera untuk menampung anak-anak korban bencana. Jika tidak tertampung baru akan dicarikan panti-panti asuhan di Jawa.

GAM - TNI Kembali Bentrok Senjata

(KBR 68H - 14 Januari 2005) - Kontak senjata terjadi antara TNI dengan anggota Gerakan Aceh Merdeka GAM di Kampung Calung Mesjid, Kecamatan Batee, Pidie, Nangroe Aceh Darusalam. Juru Bicara GAM Pidie, Tengku Adi Laweung mengatakan, kontak senjata itu terjadi ketika anggota GAM hendak kembali ke rumahnya untuk membersihkan puing-puing rumahnya yang tersapu tsunami. Menurut Tengku Adi, tiba-tiba ada pengepungan dari pihak TNI. Kontak senjata terjadi sekitar pukul 06.30 pagi tadi.

Menurut Tengku Adi, ini adalah kontak senjata ketiga antara TNI dengan GAM pasca tsunami.

Hari ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla kembali menyatakan Pemerintah Indonesia tengah mengupayakan gencatan senjata dengan GAM. Namun Indonesia tidak mau gencatan senjata itu hanya bersifat sementara. Menurut Kalla, Indonesia menghendaki perdamaian abadi.

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda seperti dikutip dari BBC mengatakan, pemerintah Indonesia dan GAM bersepakat supaya GAM tidak mengganggu bantuan kemanusiaan yang mengalir ke Aceh. Perdana Menteri GAM di Swedia Malik Mahmud membantahnya, sekaligus menyatakan bahwa belum pernah ada kontak dari pemerintah Indonesia ke GAM pasca bencana tsunami. Meski begitu, GAM telah mengajukan tawaran gencatan senjata sebanyak empat kali, yang hingga kini belum mendapat jawaban dari pemerintah Indonesia.

PBB Pahami Pembatasan Militer Asing di Aceh

(KBR 68H - 14 Januari 2005) - Amerika Serikat meminta penjelasan dari pemerintah Indonesia soal batasan waktu bagi bantuan militer asing di Aceh. Harian Strait Times memberitakan, Amerika terkejut sekaligus marah atas keputusan Indonesia, bahwa pasukan militer asing, termasuk dari Amerika Serikat, harus meninggalkan Indonesia akhir Maret mendatang. Presiden Amerika Serikat George Walker Bush menyebut, pasukan militer Amerika Serikat memberikan perubahan yang signifikan bagi pemberian bantuan korban tsunami.

Amerika Serikat sendiri menyumbangkan jutaan dollar Amerika Serikat untuk bantuan kemanusiaan bagi korban tsunami di Aceh. Selama tiga pekan terakhir, Amerika telah mengirimkan 13 ribu pasukannya untuk operasi kemanusiaan di Aceh.

Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB memahami keputusan pemerintah Indonesia untuk membatasi keberadaan warga asing di Nanggroe Aceh Darussalam. Koordinator Khusus Tsunami PBB Margareta Wahlstrom mengatakan PBB telah menanyakan kepada Pemerintah Indonesia tentang pembatasan waktu terhadap militer asing dan pembatasan wilayah untuk warga asing serta dampaknya bagi operasi kemanusiaan di NAD. Meski ada pembatasan, menurut Margareta, sejauh ini belum menggangu jalannya operasi kemanusiaan.

Margareta menambahkan PBB dan LSM asing akan mentaati prosedur yang berlaku karena kondisi keamanan di Aceh dalam 25 tahun terakhir dalam keadaan konflik. Hingga saat ini belum ada laporan orang asing mendapat ancaman di Aceh. Sebelumnya PBB meminta Indonesia tidak menetapkan batasan waktu kepada militer asing yang memberikan bantuan kemanusiaan korban tsunami. Sekretaris PBB untuk Urusan Kemanusiaan Jan Egeland mengatakan, kebijakan itu, baik karena alasan keamanan maupun alasan politis, akan menghambat pergerakan bantuan kemanusiaan bagi para korban tsunami.

Rabu kemarin, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, militer asing diberi batas waktu sampai tanggal 26 Maret mendatang untuk memberikan bantuan kepada Aceh.

Release KBR: "Sumur ke-20, Direncanakan Selesai Hari Ini"

(KBR 68H - 14 Januari 2005) - Usaha Kantor Berita Radio 68H untuk membangunan sumur-sumur pompa untuk penyediaan air bersih di Banda Aceh hampir selesai. Sumur ke-20 ditargetkan akan selesai hari ini, 14 Januari 2005 setelah sehari sebelumnya 18 buah sumur pompa selesai dibangun di beberapa titik pengungsian dan tempat ibadah di Banda Aceh. Dengan berdirinya sumur-sumur ini, sekitar 6000-8000 orang pengungsi dapat mempergunakan air bersih itu untuk kebutuhan sehari-hari mereka.

Karena kebutuhan akan air bersih yang masih cukup besar, setelah ini, program pembangunan sumur-sumur pompa ini akan tetap diteruskan. “Kami akan bekerjasama dengan Radio Prima FM Banda Aceh yang sekarang masih berada dalam proses perbaikan dan diperkirakan dapat mengudara kembali pada tanggal 20 Januari 2005 besok” kata Santoso, Direktur Utama Kantor Berita Radio 68H. Santoso mengatakan, setelah program ini dipegang oleh Radio Prima FM Banda Aceh, pembangunan pun akan dialihkan dengan menggunakan tenaga lokal.

Setelah Banda Aceh, 68H akan melakukan pembangunan sumur-sumur pompa di kota Meulaboh.

Pembangunan ini terlaksana dengan menggunakan bantuan dana dari pendengar Kantor Berita Radio 68H di seluruh Indonesia yang telah ikut menyumbang melalui “Kita Peduli Aceh” yang hingga saat ini dananya sudah terkumpul sebesar Rp 96.301.511,26.

Dengan berkelanjutannya program ini, 68H akan tetap membuka rekening “Kita Peduli Aceh” melalui Rekening BCA Cabang Pembantu Utan Kayu No. Rekening 5800091090 AN PT Media Lintas Inti Nusantara. Dan terus simak update berita dan informasi dari Nangroe Aceh Darussalam lewat radio-radio jaringan kami di seluruh Indonesia. Di Jakarta simak 89,2 FM dan 603 AM Stereo.

Informasi lebih lanjut hubungi, Direktur KBR 68H, Santoso, di nomor telepon 086812127851. (c)

Alwi Shihab: "Mana Harga Diri Bangsa?"

Pernyataan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat(MENKOKESra) Alwi Shihab mengenai relawan militer asing di Aceh, kepada 68H.

Anda berada di Aceh, dan melihat langsung kondisi di sana. Kalau melihat kondisi obyektif di lapangan, apakah realistis memberi batas waktu hanya 3 bulan saja bagi tim relawan militer negara sahabat untuk menjalankan misi kemanusiaan di Aceh?

Ya, saya kira kalau kekuatan militer, saya kira bisa tiga bulan, kita bisa, Insya Allah bisa selesai. Yang pasti kita sudah bisa menjangkau lokasi-lokasi itu dengan darat dan laut. Dengan begitu, kita sudah tidak sangat bergantung lagi dengan bantuan pesawat-pesawat asing. Lalu medical team yang sifatnya militer juga mungkin kita sudah bisa kita tangani, dengan medical tim dari sipil, karena banyak volunteer-volunteer yang sipil. Kita juga sudah harus punya kerangka waktu yang memadai.

Sejumlah kalangan dari dalam negeri termasuk warga dan tokoh Aceh menyesalkan keputusan pemerintah memberi batas waktu, karena target waktu ditentukan tanpa melihat situasi obyektif yang ada di lapangan. Padahal bantuan asing masih sangat dibutuhkan disana. Apa kita tidak sebaiknya menunggu sampai yakin betul bahwa situasi bisa kita atasi sendiri, baru kemudian meminta mereka keluar dari Aceh ketimbang menetapkan waktu sejak sekarang, padahal situasinya masih porak poranda di Aceh?

Kalau dikatakan porak poranda, tidak juga. Semuanya ada kemajuan. Dan kalau sudah ada relokasi, keadaan sudah tenang. Relokasi sudah bisa dicapai seperti tadi saya katakan, melalui darat dan laut. Kalau Anda mendengar pernyataan dari satu pihak, keputusan apapun dari pemerintah itu pasti ditanggapi kontroversial. Anda tidak mendengar orang-orang yang mengatakan, kenapa Indonesia tergantung dengan militer asing? Aceh sudah dijajah? Mengapa Amerika masuk? Mengapa tidak ada waktu yang ditetapkan kepada mereka? Apa Anda tidak mendengar seperti itu? Kita obyektif saja, anda tidak mendengar itu?

Ada reporter kita di Banda Aceh dan kita sempat bicara dengan warga yang sebetulnya masih menginginkan adanya bantuan dari tim relawan dan minta tidak ada pembatasan.

Begini, kita tidak membatasi relawan. Silakan seribu dua ribu, kalau dia sipil silakan. Kita tidak bilang (relawan) tidak boleh. Yang ada di Banda Aceh tidak semua militer. Di sini relawan yang membawa bantuan itu bukan relawan militer. Yang militer itu yang menggunakan pesawat-pesawat helikopter. Jadi kita bisa pakai sipil.

Jadi jangan dianggap dengan ini bantuan itu langsung diputus, itu tidak betul. Saya rasa Anda tahu persis, yang dimaksudkan disini adalah relawan militer, bukan sipil. Kalau ada bantuan sipil silakan. Mau dua ribu, mau tiga ribu, mau lima ratus ribu.

Tolong beritahu, yang dibutuhkan adalah relawan sipil. Militer itu digunakan pada masa awal karena mereka itu untuk tanggap darurat. Kita butuh relawan militer, karena waktu itu action yang cepat itu militer, Pak. Kalau sipil kan lelet.

Dua hari lalu Panglima TNI Endriartono Sutarto menolak permintaan Presiden untuk mengirimkan tambahan personil TNI ke Aceh? kalau begitu, bagaimana kita bisa berharap pada TNI untuk mengisi peran tim relawan militer asing di Aceh ?

Saya tidak mendengar TNI menolak itu. Ada skema lain yang juga bisa mengisi dengan yang 3 ribu personil TNI itu. Jadi Anda jangan menganggap hanya militer yang bekerja di Aceh ini, militer itu bekerja untuk transportasi. Jadi bukan semuanya dikerjakan militer. Saya, Alwi Shihab bukan militer.

Ini hanya soal dignity, harga diri bangsa pak. Jangan sampai orang bilang, waduh... Indonesia kok mengizinkan lebih dari tiga bulan ya? Itu militer asing, pilot-pilot asing, berada di Aceh seenaknya. Kesana bisa, kesini bisa. Dimana harga diri bangsa? Bangsa ini sudah seperti dijajah ? Amerika sudah bisa masuk kesana kemari. Suara-suara seperti itu juga harus dihormati, Pak.

Jadi ini juga mencambuk kita agar sebelum tanggal 26 Maret, kita bisa mengucapkan terima kasih kepada militer asing. Kalau mau mengirim relawan lagi, kirim yang sipil saja deh, dokter-dokter yang sipil. Kita juga membutuhkan bantuan dokter-dokter dari negara lain, yang sipil.

Selain soal batas waktu, TNI juga menetapkan ada beberapa wilayah yang tidak boleh dimasuki oleh relawan dan juga jurnalis asing. Kenapa muncul aturan seperti ini?

Jadi begini, masalahnya bukan me-restriksi, bukan melarang. Kita mau mengatur. Karena begini, seandainya satu saja orang asing ini meninggal apalagi ada hubungannya dengan PBB, Anda ingat kasus di Atambua dulu? PBB langsung menyatakan menarik diri dari tempat itu. Apa yang terjadi kalau PBB menarik diri sedangkan kita sekarang ini membutuhkan bantuan- bantuan yang banyak sekali disalurkan melalui PBB.

Taruhlah Jepang, 250 juta dollar itu ditulis dalam bantuannya. Bantuan disalurkan melalui PBB. Kalau ada yang meninggal siapa yangg bertanggung jawab? Kita katakan kalau daerah-daerah yang dianggap rawan kita antar. Kalau Anda mau melihat, kita antarkan, tidak ada masalah. Tapi kalau seandainya Anda berkeliaran tahu-tahu ada orang yang tidak bertanggungjawab menembak you, siapa yg bertanggungjawab pak? Kita mau katakan "bukan tanggungjawab kita", jelas tidak bisa. Kita sebagai host, sebagai tuan rumah, jadi you harus tanggungjawab ini keselamatan mereka.

Data terakhir menyangkut relokasi warga aceh seperti apa?

Saya kira dari hari ke hari pasti ada kemajuan tapi juga masih banyak yang harus dilakukan. Yang paling penting sekarang ini, bagaiman kita bisa mendirikan relokasi center atau pusat-pusat penampungan bagi para pengungsi. Karena dengan adanya relokasi center ini, kita bisa menjamin kehidupan yang lebih nyaman dan sudah menjadi semi permanen. Nantinya tidak tinggal di tenda lagi, tapi di barak-barak.

Ini yang kita sekarang sedang kejar, mudah-mudahan dalam waktu sebulan ini kita sudah bisa selesai dengan konstruksi itu, dan dengan demikian, kita sudah bisa mengajak para pengungsi pindah.

Apa yang kini sudah dibangun untuk mencapai tujuan tersebut?

Proses perataan tanah sudah dimulai, sekarang kita sudah pesan kayu-kayu untuk membangun barak kayu. Persiapan air bersih juga sudah kita lakukan. Mudah-mudahan dalam waktu satu bulan, dan ini juga tergantung dari cuaca. Mudah-mudahan hujan tidak menguyur terus seperti sekarang ini. Dengan demikian ada banyak hal yang bisa lakukan, misalnya mereka yang menempati sekolah-sekolah itu bisa pindah ke barak.

Mereka yang berada di daerah-daerah yang jauh yang terkadang emergency aids agak sulit dicapai kecuali dengan jalur udara seperti dengan helikopter. Kendala seperti itu bisa kita atasi dengan adanya relokasi. Disamping itu, kita juga mengumpulkan mereka di relokasi, sehingga kita tidak perlu terlalu sering terbang dengan helikopter.

Dengan demikian, kita tidak pun tidak perlu terlalu bergantung dengan helikopter-helikopter asing. Itu kan dignity, harga diri bangsa kita juga.Tapi selama mereka belum direlokasi, saya rasa kita masih bergantung kepada bantuan-bantuannya terutama helikopter. (C)

Polisi: "Kasus Pembunuhan Munir Sulit Diungkap"

(KBR 68H - 14 Januari 2005) - Tim penyidik kepolisian dan tim independen masih kesulitan untuk mengungkap kasus kematian aktivis HAM Munir. Dalam pertemuan antara tim penyidik kepolisian dengan tim independen yang berlangsung kemarin, anggota tim independen kasus kematian Munir Usman Hamid mengatakan, tim penyidik kepolisian memaparkan kesulitan yang dihadapi dalam mengungkap kasus kematian Munir.

Kesulitan itu antara lain mengenai cara mendapatkan keterangan dari para saksi yang berada di luar negeri. Usman mengatakan tim independen akan meminta Menteri Luar Negeri agar pemeriksaan para saksi itu bisa dilakukan di kedutaan besar Indonesia di luar negeri.

Usman Hamid mengatakan anggota tim independen yang berasal dari LSM akan melakukan upaya yang melebihi wewenang yang diberikan presiden dalam mengungkap kasus kematian Munir.Usman mengatakan wewenang yang diberikan Presiden dalam tim tersebut lemah.

Saudara, kasus kematian aktivis HAM Munir 7 september 2004 lalu belum juga terungkap. Polisi telah memeriksa 91 saksi namun hingga kini masih belum juga menetapkan tersangka.

Izin Bank Global Dicabut

(KBR 68H - 14 Januari 2005) - Bank Indonesia BI mencabut ijin usaha PT Bank Global Internasional Terbuka. Pencabutan ijin usaha dilakukan karena bank tetap kekurangan modal meski BI memberi kesempatan kepada pemegang saham dan pemilik bank untuk menyehatkan kembali modal bank. Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia Bun Bunan Hutapea, selain tidak memiliki itikad baik, pemegang saham dan pemilik bank dinilai tidak sungguh-sungguh berupaya memperbaiki kesehatan Bank Global.

Bun Bunan menambahkan, direksi, pejabat eksekutif dan beberapa karyawan juga diduga melakukan tinak pidana di bidang perbankan karena merusak dan berupaya untuk menghilangkan dokumen/ berkas warkat bank.

Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Departemen Keuangan Darmin Nasution meminta nasabah bank Global tidak panik, karena dana mereka telah dijamin pemerintah. Darmin berjanji paling lambat 3 minggu setelah likuidasi bank, pencairan dana nasabah dapat dilakukan. Para nasabah dapat mencairkan dananya lewat Bank Penjamin yang ditunjuk oleh pemerintah. Setelah mendapatkan data nominatif dari pengelola bank sementara, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan BPKP akan melakukan verifikasi jumlah dana pihak ketiga yang akan diganti. Darmin menegaskan pemerintah hanya akan menjamin dana pihak ketiga sesuai ketentuan penjaminan pemerintah, yakni diluar produk pasar modal seperti reksadana.

Australia Tak Masalah, Relawan Asing Dibatasi 3 Bulan

(KBR 68H - 14 Januari 2005) - Pemerintah Australia mendukung kebijakan pemerintah Indonesia soal pembatasan masa waktu dan gerak seluruh relawan internasional di Nanggroe Aceh Darussalam hingga 26 Maret mendatang. Selanjutnya, pemerintah Australia akan menarik seluruh militer kemanusiaan mereka dari tanah Serambi Mekkah.

Juru bicara Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Elizabeth O’Neil, mengatakan pemerintah Australia bersedia mengikuti seluruh aturan yang ditetapkan pemerintah Indonesia.

Sementara itu, pemerintah Amerika Serikat akan tetap mempertahankan jumlah pasukannya, sehubungan aturan tiga bulan bagi yang diterapkan pemerintah Indonesia terhadap keberadaan relawan asing di Aceh. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Lynn Pascoe menegaskan, bahwa tiga ratusan pasukannya baru akan meninggalkan Aceh, bila bantuan mereka tidak lagi diperlukan. Ia menilai pemberlakuan aturan itu tidak mengejutkan.

Menurutnya, Aceh merupakan wilayah Indonesia. Jadi merupakan hak dan tanggung jawab pemerintah Indonesia, menentukan apa yang terbaik bagi penangganan masalah bencana di wilayah itu.

Saudara, sebelumnya pemerintah Indonesia mengeluarkan batas waktu hingga 26 Maret mendatang bagi warga Asing berada di Aceh. Gerak seluruh warga asing, baik relawan maupun wartawan, juga dibatasi hanya di tiga daerah saja, yaitu kota Meulaboh, Aceh Besar dan Banda Aceh.

Komentar Publik atas Kebijakan Pembatasan Relawan Asing

Kebijakan pemerintah membatasi ruang gerak dan waktu para relawan asing, baik sipil maupun militer, di bumi Rencong, ternyata menuai badai kritik. Kebijakan tersebut memicu kontroversi antara nasionalisme dan kemanusiaan.

Menurut Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab, batas waktu 26 Maret itu hanya untuk relawan militer asing. Sedangkan untuk relawan sipil hanya diatur keberadaan mereka di Aceh.

(…kita tidak membatasi relawan. Silakan seribu dua ribu kalau dia sipil silakan. Kita tidak bilang tidak boleh. Yang ada di Banda Aceh tidak semua militer. Di sini relawan yang membawa bantuan itu bukan relawan militer. Yang militer itu yang menggunakan pesawat-pesawat helikopter. Jadi kita bisa pakai sipil. Jadi jangan dianggap dengan ini bantuan itu langsung diputus, itu tidak betul. Saya rasa bapak tahu persis, bahwa ini maksudnya militer bukan sipil. Kalau ada bantuan sipil silakan. Mau dua ribu, mau tiga ribu, mau lima ratus ribu....)

Pada awalnya, pemerintah Indonesia memang membutuhkan tenaga militer asing untuk mendukung operasi kemanusiaan TNI di Aceh.

(…Militer itu digunakan pada masa awal karena mereka itu untuk tanggap darurat, kalau kita perlu action yang cepat itu militer pak. Kalau sipil kan lelet...)

Namun untuk tindak lanjut operasi kemanusiaan di Aceh, pemerintah bersikap militer asing tidak diperlukan lagi.

(…Hanya ini dignity, harga diri bangsa pak. Jangan sampai orang bilang, waduh ini Indonesia kok tiga bulan ya ? lebih dari tiga bulan, ya ? ini militer asing pilot-pilot asing berada di Aceh seenaknya mau ke sana bisa, mau ke mari bisa ? mana ini harga diri bangsa? ini bangsa sudah sepertinya dijajah ? Amerika sudah bisa masuk kesana kemari. Itu suara-suara juga harus dihormati pak. Jadi ini juga mencambuk kita agar sebelum tanggal 26 Maret, militer asing kita bilang terimakasih. sipilnya aja deh kasih kita, dokter2 sipil.....)

Alasan yang dilontarkan Alwi itu boleh jadi pemicu lain kontroversi antara nasionalisme dan kemanusiaan di Aceh. Saat Namlapanha Jakarta membuka dialog interaktif dengan pendengar, seorang pendengar dari Jakarta, Ida langsung menunjukkan ketidaksepakatan ia atas alasan pemerintah itu.

(…kita harus menunjukkan bahu-membahu dengan internasional untuk kemanusiaan di Aceh, itu yang sekarang kita harus pupuk, bekerja bersama, bukan membanding-bandingkan antara kemanusiaan dengan nasionalisme, jangan kita bilang ini ada tujuannya, toh sebelum datang, kita yang minta tolong, karena kita tahu kita nggak sanggup, kita nggak bisa lagi untuk tackle, jadi sekarang mereka sudah datang dengan begitu besar, dengan bantuan yang begitu besar, kita harus bahu-membahulah jangan membawa nasionalisme…)

Sementara pendengar lain dari Bekasi Jawa Barat, Rahman berpendapat tidak perlu ada pembatasan, tapi memang perlu pengaturan.

(…ini kita hidup di dunia global, globalisasi sudah menjadi trend, sudah menjadi isu utama dunia, perdagangan saja batas negara sudah tidak dibahas, apalagi masalah kemanusiaan, jadi masalah kemanusiaan itu perlu kita utamakan, karena itu bersifat universal, sehingga membantu kemanusiaan itu tidak perlu dibatasi oleh batas negara, cuma kita mengaturnya secara professional, sebagai negara berdaulat, ada aturan mainnya…)

Sedangkan Fuad dari Jakarta punya pandangan lain berdasarkan pengamatan ia saat berada di Nanggroe Aceh Darussalam.

(… kita jangan berpikir negatif tentang tentara-tentara asing begitu, saya melihat mereka itulah punya andil nomor dua setelah TNI kita, kemudian sukarelawan-sukarelawan pertama yang dikirim ke sana itu, saya sangat kecewa sekali, mereka hanya berdarmawisata, membagi-bagikan makanan, tapi tak ada yang membantu TNI yang mengangkat mayat, mengapa tentara-tentara asing dengan alasan mata-mata, kita lihat kerja mereka yang mengangkat mayat, Meulaboh, kita lihat informasinya adalah dari tentara asing, menyatakan belum ada bantuan di sana…)

Ada dugaan dan ada pula tudingan terlontar melalui radio ini. Mereka bilang pemerintah, terutama militer kita, cenderung minder melihat kerja pihak internasional, terutama militer asing.

(… mereka tersinggung dengan kedatangan orang-orang professional, mereka tidak menjadi tidak… semacam kayak ada harga dirinya tuh tidak ada lagi, nah trus sekarang ini, ada juga dibalik ini, kalau orang-orang itu pergi, maka dia menjadi raja di sini…../ … di balik ini semua, ada kecurigaan yang besar yang mendekati paranoid, jadi ini bukan masalah nasionalisme, tetapi tanpa sadar ini sesungguhnya adalah komplex rendah diri, yang ujungnya memang pada orang-orang yang inferiority complex itu cenderung untuk curiga pada segala sesuatu yang dari luar, ya jadi pertimbangannya sangat sangat tidak rasional menurut saya…../ …. Ya kami jauh dari Papua, dan Aceh itu paling barat, kasihan kita punya saudara-saudara di Aceh, sudah menderita mereka, sudah habis-habisan, dahulukanlah upaya-upaya kemanusiaan, kalau memang kita nggak mau pasukan asing, relawan asing, ya kenapa mau diterima? Dari awal-awal kita nyatakan bahwa kita mampu, mengapa sudah begini, lalu kita bikin segala macam pengaturan, segala macam lainnya, itu kan nggak fair…)

Sebenarnya tak ada yang salah dengan kedua paham itu. Tidak semua orang yang nasionalis, menampik kemanusiaan, dan tidak semua orang pendamba kemanusiaan, juga memegang nasionalisme. Setidaknya demikian pendapat Nani, salah seorang pendengar radio ini.

(….kalau saya sebagai anak bangsa, terus terang saya sangat awam dalam segala hal ya, hanya saya berpikir, antara harga diri dan nyawa itu seimbang, kita nggak bisa karena untuk nyawa, , harga diri juga dilupakan…)

Sebenarnya bukan kontroversi, tapi bagaimana dan dari sudut mana kita melihat penanggulangan bencana di ujung Sumatera itu. Untuk kasus Aceh, yang sejak dulu bergolak dengan kasus separatisme, Ramli punya resep jitu untuk pemerintah.

(…negara Indonesia ini ada kan karena adanya rasa nasionalis manusia yang sangat tinggi, atau warga negara yang sangat tinggi, sekarang manusia yang melahirkan nasionalisme itu lagi musibah pak, jadi untuk memulihkan kesengsaraan rakyat yang sedang musibah, dilanda musibah yang sangat parah ini, sangat perlu kita bantu mereka itu dengan segala daya upaya kita, dari pihak kita yang tidak musibah, ataupun pemerintah dalam hal ini agar nasionalis, nasionalis, nasionalisme itu tumbuh kembali…)

Kini pemerintah tetap pada sikap memberi batas waktu 26 Maret untuk relawan militer asing. Sedangkan untuk gerak relawan sipil pun dibatasi. Untuk itu, tio, seorang pendengar radio ini dari Medan, Sumatera Utara menantang.

(… kalau memang pemerintah itu mengurangi ataulah membatasi, bantuan-bantuan dari luar negeri, tenaga-tenaga bantuan dari luar negeri, saya pengen melihat pemerintah, melakukan action yang sangat-sangat tepat…)

Dirangkum Yancen Piris Namlapanha Jakarta